HUKUM PERKAWINAN MENURUT BW terbaru 2020
HUKUM PERKAWINAN
MENURUT BW
PENGERTIAN PERKAWINAN :
Menurut
Pasal 26 BW :
Perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Undang-undang memandang perkawinan hanya dari hubungan Keperdataan.
PERJANJIAN KAWIN
Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh
dua orang suami istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinan mengenai harta
kekayaan.
Perjanjian kawin ini lebih bercorak hukum
kekeluargaan (familie rechtelijk) sehingga tidak semua ketentuan tentang hukum
perjanjian yang termaktub dalam buku II – BW berlaku misalnya tidak dapat
dilakukan suatu aksi berdasarkan suatu kekhilafan.
Pitlo pernah mengatakan bahwa di Nederland tidak
banyak orang membuat perjanjian kawin. Pada tahun 1953 orang yang membuat perjanjian
kawin ini belum mencapai 10%.
Pada umumnya perjanjian kawin ini dibuat manakala
terdapat jumlah harta kekayaan yang lebih besar pada suatu pihak dari pada
pihak yang lain. Maksud pembuatan perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan
penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang persatuan harta kekayaan
seperti yang ditetapkan dalam pasal 109 BW. Para pihak bebas menentukan bentuk
hukum yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi objeknya. Mereka
dapat saja menentukan bahwa didalam perkawinan mereka tidak akan terdapat
persatuan harta kekayaan atau ada persatuan harta kekayaan yang terbatas.
Dalam bagian I – title VII kita menjumpai ketentuan
umum tentang perjanjian kawin. Dalam bagian II kita dapat mengetahui adanya 2
buah bentuk perjanjian kawin atas persatuan harta kekayaan yang terbatas yang
sering kita dapatkan dalam hukum perkawinan yaitu :
1. Persatuan untung rugi (= gemeenschap van
winst en verlies ) ;
2. Persatuan hasil dan pemasukan (= gemeenschap
van vruchten en imkomsten ).
Perlu diutarakan bahwa ketentuan hukum yang tertulis
dalam Bagian I berlaku pula terhadap kedua buah perjanjian kawi atas persatuan
harta kekayaan yang terbatas kecuali ada ketentuan khusus yang menerapkan
secara lain.
A.
Isi Perjanjian Kawin
Asas-asas yang ditentukan dalam BW
menyatakan bahwa kedua belah pihak (suami-istri) itu bebas menentukan isi
perjanjian kawin yang dibuatnya.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam
menentukan isi perjanjian kawinnya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan ini :
1. Perjanjian yang dibuat tidak
bertentangan dengan kesusialaan danketertiban umum.
2. Tidak dibuat janji yang menyimpang dari
:
a. Hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami
sebagai suami misalnya hak suami untuk menentukan tempat kediaman dan lain-lain
;
b. Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang
tua (ourderlijke macht) misalnya hak untuk mengurus kekayaan anak-anak ;
c. Hak-hak ditentukan oleh Undang-undang
bagi Langstlevende echtgenoot (mempelai yang hidup terlama) misalnya untuk
menjadi wali dan wewenang untuk menunjuk wali dengan testamen (2a.b.c diatur
dalam pasal 140 BW).
3. Tidak dibuat janji yang mengandung
pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang menurunkannya
(afkomelingen).
4. Tidak dibuat janji bahwa sebuah pihak
akan memikul hutang lebih daripada bagiannya dalam aktiva ( pasal 142 BW ).
5. Tidak dibuat janji dengan kata-kata umum
yang mengatakan bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh undang-undang Negara
asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland.
Dilarang
pula jika perjanjian itu dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka
akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya ( pasal 143 BW ).
Jadi
yang diperbolehkan adalah bilamana isi undang-undang Negara asing atau hukum
adat itu dirumuskan sampai sedetil-detilnya/sejelas-jelasnya.
B.
Bentuk Perjanjian Kawin
Pasal 147 BW menentukan bahwa perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaries sebelum perkawinan dilangsungkan. Bila
tidak demikian, maka perjanjian itu batal demi hukum ( van rechtswege nietig ).
Hal ini berakibat bahwa dalam perkawinan itu dianggap ada kebersamaan /
persatuan harta perkawinan antara suami istri.
Sebelum perkawinan itu dilangsungkan,
calon suami istri masih dapat mengubah isi perjanjian kawin yang dibuatnya
dengan syarat harus dilakukan dengan akta notaris dan orang yang dulu terlibat
didalamnya harus diikut sertakan lagi apabila orang-orang tadi tidak menyukai
maka perubahan itu tidak dapat dilakukan.
C.
Masa berlakunya perjanjian kawin
Menurut pasal 147 (2) BW , maka
perjanjian kawin itu mulai berlaku sejak dilangsungkan perkawinan dan dan tidak
boleh ditentukan waktu yang lain.
Perjanjian kawin hanya akan terjadi
sampai berakirnya perkawinan kecuali jika istri minta pemisahan harta kekayaan
atau dalam ada perpisahan meja dan tempat tidur oleh karena adanya pemisahan
harta kekayaan.
D.
Berlakunya Perjanjian Kawin terhadap Pihak Ketiga
Pasal 152 BW mengatakan bahwa perjanjian
kawin itu berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
Yang perlu didaftarkan hanya
singkatannya ( uittreksel atau ikhtisarnya ) saja. Selama belum didaftarkan,
pihak ketiga dapat menganggap bahwa perkawinan itu berlangsung dengan
kebersamaan harta perkawinan.
E.
Cara Suami Istri Membuktikan Hak Milik
(Eigendom)-Nya Masing-Masing
Cara pembuktian yang satu terhadap yang
lain tentang beberapa barang itu adalah barang-barang bawaannya, maka dalam
garis besarnya ada dua ketentuan :
1. Dalam hal tidak ada
gemeenschap/persatuan sama sekali diatur dalam pasal 150 BW
2. Dalam hal ada persatuan harta kekayaan
yang terbatas diatur dalam pasal 165 BW yaitu dalam hal ada gemeenschap van
winsten verlies dan dalam hal ada gemeenschap van vruchten en inkomsten.
F.
Kecakapan membuat perjanjian kawin
Menurut pasal 151 BW minderjarige
dianggap cakap membuat perjanjian kawin dengan syarat :
1. Harus sudah cakap untuk mengadakan
perkawinan ( pasal 29 BW ).
2. Harus dibuat dengan bijstand atau
pendamping dari orang yang seharusnya berwewenang memberikan izin kawin.
G.
perjanjian Kawin dengan Persatuan Keuntungan dan Kerugian.
Perjanjian ini terjadi bilamana
bakal suami istri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka menghendaki bentuk
perjanjian kawin itu dalam akta perjanjian kawinnya, atau karena mereka dalam
perjanjian kawin itu menyatakan bahwa didalamnya tidak diadakan kebersamaan
harta perkawinan sehingga dalam hal ini dengan sendirinya ada kebersamaan
keuntungan dan kerugian.
Yang menjadi dasar pemikiran untuk
mengambil bentuk perjanjian kawin dengan kebersamaan keuntungan dan kerugian
adalah :
1. suami istri masing-masing tetap memiliki
secara sendiri-sendiri harta kekayaan yang dimilikinya pada saat perkawinan dan
apa yang diperolehnya selama perkawinan yang sifatnya om niet;
2. menjadi milik bersama semua yang
diperoleh mereka selama perkawinan.
H.
Pemberian- Pemberian Yang Diperjanjikan Antara Calon
Suami Istri
Maksudnya adalah
pemberian-pemberian karena perkawinan, selama perkawinan atau sebelumnya tentu
ada pemberian-pemberian yang ada diluar, maksudnya perkawinan itu. Akan tetapi
yang dimaksud disini adalah melulu pemberian-pemberian entah secara :
1. Schenking (pemberian biasa)
2. Testamentaire making oleh bakal suami
istri antara seseorang terhadap yang lain dan sebaliknya.
A.
SYARAT-SYARAT INTERN
Syarat-ayrat intern ini merupakan
syarat-syarat terhadap para pihak terutama mengenai kehendak, wewenang, dan
persetujuan orang lain, yang diperlukan oleh para pihak itu untuk mengadakan
perkawinan.
Syarat-syarat intern yang diatur
dalam pasal 27-49 BW dapat dibedakan atas :
1. Absolut/Mutlak
2. Relatif/Nisbi
I.
Absolut
/ Mutlak
Syarat-syarat
ini mengakibatkan bahwa pada umumnya orang tak lagi berwewenang untuk
mengadakan perkawinan kalau syarat-syaratnya tidak dipenuhi.
Ada lima hal yang harus diperhatikan :
1. Kedua belah pihak masing-masing harus
tidak dalam keadaan kawin (pasal 27 BW)
2. Persetuajuan suka rela atau bebas antara
bakal suami istri (pas al 28 BW)
3. Harus mempunyai batas umur minimum
tertentu (pasal 29 BW), yaitu 18 Tahun untuk pria dan 15 Tahun untuk wanita.
4. Seseorang wanita tidak boleh/dapat kawin
lagi sebelu lampau 300 hari sesudah putusnya perkawinan sebelumnya (pasal 34
BW)
5. Harus ada persetujuan dari pihak ketiga.
·
Persetujuan
pihak ketiga terhadap anak sah yang minderjarig, pasal 36 BW menentukan bahwa
anak sah yang masih mempunyai orang tua, akan tetapi tidak berada dibawah
kekuasaan orang tuanya, harus mendapat persetujuan dari walinya.
·
Persetujuan
pihak ketiga terhadap anak luar kawin yang minderjarig, ketentuannya diatur
dalam pasal 39 dan 40 BW:
§ Anak luar kawin yang diakui (pasal 39
BW), pada pokoknya berlaku ketentuan-ketentuan yang sama dengan anak yang sah
walupun tidak seluruhnya sama.
§ Anak luar kawin yang tidak diakui (pasal
40 BW), bagi mereka ini maka haruslah ia mendapatkan persetujuan dari wali atau
wali pengawasannya.kalau tidak diberikannya maka dapatlah anak itu mengajukan
permohonan izin ke PN.
II.
Relatif
/ Nisbi
Syarat-syarat ini merupakan
syarat-syarat yang mengandung larangan perkawinan tertentu, misalnya larangan
perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan keluarga yakni antara :
a. Antar wangsa : mereka yang berinduk pada
nenek moyang yang sama.
b. Antar ipar : mereka yang menjadi keluarga karena
perkawinan.
Larangan ini terdapat dalam pasal 30 dan
31 BW yang meliputi :
a. Semua orang yang termasuk para wangsa
dalam garis lurus dengan tidak terbatas, seperti ayah dengan anak, ibu dengan
anak, kakek dengan cucu,mertua dengan menantu dan lai sebagainya
b. Antara saudara laki-laki dengan saudara
perempuan baik sah maupun tidak (pasal 30 BW).
c. Antara ipar laki-laki dengan ipar
perempuan kecuali bilamana antara salah seorang suami istri itu sudah meninggal
atau berdasarkan keadaan afwezigheid (keadaan tidak ditempat atau tidak hadir)
diantara suami istri yang menjadikan hubungan ipar.
d. Antara paman dengan keponakan perempuan,
antara bibi dengan keponakan laki-laki.
B.
SYARAT-SYARAT EKSTERN
Syarat-syarat ekstern ini merupakan
syarat-syarat yang ada hubungannya dengan cara-cara atau formalitas-formalitas
pelangsungan perkawinan. Ketentuan yang menyangkut persoalan ini terdapat dalam
pasal 50-84 BW, bagian /afdeling II-V. perlu dikemukakan bahwa Afdeling bagian
II dan III (pasal 50-70 BW) tidak brlaku bagi Gol.Tionghoa.
1.
Formalita-Formalita Perkawinan
Bagi golongan Eropa sebagai syarat
ekstern, pertama untuk mengadakan perkawinan, kedua orang calon mempelai harus
mengadakan pemberitahuan kepada pegawai catatan sipil dan menyatakan bahwa
mereka hendak kawin dan menyebutkan juga tempat tinggal mereka masing-masing.
Dalam pasal 50 dan 51 BW dikatakan,
bahwa pemberitahuan itu dapat dilakukan secara persoonlijk (menghadap sendiri )
atau secara tertulis. Akan tetapi kedua calon mempelai diharuskan
menandatangani pemberitahuan kawin itu.
Pasal 75 BW menentukan bahwa
perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum hari ke-10 seteleh afkondiging
diumumkan, Pasal 57 BW mengatur bahwa afkondiging yang sudah melewati setahun
sedang perkawinan itu belum juga berlangsungkan maka perkawinan itu menjadi
daluarsa dan tiada boleh dilangsungkan kecuali melaui pemberitahuan dan
pengumuman baru seperti diatur dalam pasal-pasal diatas.
2.
Menghalang-Halangi Perkawinan atau Stuiten Des
Huwelijks
Maksud menghalang-halangi
perkawinan ini adalah suatu usaha untuk menghindari adanya sebuah perkawinan
yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang ada.
Stuiting ini harus diajukan ke
Pengadilan Negeri dalam daerah hukum suatu catatan sipil.
Yang berhak untuk menghalang-halangi perkawinan
adalah :
A. Suami, istri atau anak salah seorang
calon mempelai itu (pasal 60 BW) kalau diantara mereka mada yang masih terikat
dalam suatu perkawinan;
B. Ayah, ibu, atau wali orang yang akan
kawin (pasal 61 BW) dalam hal-hal yang berikut :
a) Apabila anaknya masih minderjarig dan
tidak dapat izin dari orang tuanya untuk kawin;
b) Apabila anaknya sudah meerderjarig
tetapi belum genap berusia 30 tahun dan tidak minta izin dari orang tuanya;
c) Apabila salah seorang calon mempelai
berada dibawah kuratel oleh karena cacat daya ingatannya;
d) Apabila calon mempelai tidak memenuhi
syarat-syarat untuk kawin seperti yang ditentukan dalam BW ( Title IV bagian I
);
e) Apabila niat akan kawin tidak diumumkan sebagaimana
mestinya;
f) Apabila salah seorang calon mempelai
berada dibawah kuratel karena boros, sedangkan perkawinan yang akan dilakukan
itu mengakibatkan celaka terhadap kedua belah pihak.
C. Jika orang tua tidak ada maka kakek,
nenek, dan wali atau wali pengawas berhak mengadakan stuiting pada hal-hal yang
tersebut dalam poin 3,4,5, dan 6 di atas ( pasal 62 BW );
D. Jikalau kakek dan nenek pun tidak ada
maka saudara-saudara sekandung, paman, dan bibi pada hal-hal yang dimaksudkan
oleh poin 3,4,5, dan 6 di atas ( pasal 63 BW );
E. Bekas suami calon mempelai perempuan
apabila perceraiannya belum melewati 300 hari setelah perkawinannya yang dahulu
diputuskan ( pasal 34 BW );
F. Menurut pasal 65 BW penuntut umum ( jaksa ) wajib menghalang-halangi perkawinan
kalau kiranya akan dilanggar isi pasal 27-34 BW ( pasal 65 BW ).
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Comments
Post a Comment