Makalah Filsafat Hukum Islam #terbaru 2020
Berikut ini adalah tulisan yang berisi tentang makalah Filsafat Hukum Islam... semoga bermanfaat.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT,karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”FILSAFAT HUKUM ISLAM” .Untuk memenuhi salah satu tugas
terstruktur dalam mata kuliah FILSAFAT HUKUM ISLAM.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Bukittinggi, 02 Januari 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I
PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian filsafat
hukum islam …………………………………… 2
B.
Ruang lingkup
filsafat hukum islam ……………………………….. 3
C.
Filsafat hukum
islam antara wahyu dan pemikiran …………………
D.
Filsafat hukum
islam dan kaitannya dengan ijtihad …………………
E. Filsafat hukum
islam dalam bidang ibadah ………………………...
BAB
III
PENUTUP ……………………………………………………………
1.
Kesimpulan
2.
saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Apabila kita memperhatikan perkembangan zaman
pada saat sekarang ini, maka hukum islam harus dituntut untuk menyesuaikan
dengan keadaan tersebut, maka dari itulah muncul ijtihad baru yang berkenaan
dengan masalah yang terjadi itu. Dan dalam segala kegiatan yang diperintahkan
Allah terdapat rahasia tersendiri dari pemerintahan itu.
Dalam makalah ini akan
menjelaskan mengenai filsafat itu sendiri dan hokum islam yang berupaya
menjawab mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah yang terjadi
pada saat sekarang ini yang belum ada dibicarakan pada zaman dahulu, serta
menyingkap rahasia dari Allah memerintahkan mengerjakan ibadah untuk umat
muslim.
B.
Rumusan masalah
a.
Apa pengertian dan tujua dari filsafat hukum islam?
b.
Apasaja ruang lingkup hukum islam?
c.
Bagaimana kedudukan filsafat hukum islam antara wahyu dan
pemikiran?
d.
Apa kaitan filsafat hukum islam dengan ijtihad?
e.
Bagaimana filsafat mengenai ibadah?
C.
Tujuan
a.
Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliyah filsafat hukum islam
b.
Agar penulis mampu menjelaskan dan memahami apa yang dimaksud
dengan filsafat hokum islam
c.
Penulis mampu menjelaskan ruang lingkup filsafat hukum islam
d.
Agar penulis mampu menjelaskan bagaimana posisi filsafat hukum
islam itu dengan wahyu dan pemikiran
e.
Agar penulis mampu menjelaskan kaitan filsafat hukum islam dengan
ijtihad
f.
Agar penulis mampu menjelaskan filsafat hukum islam dengan ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian filsafat hukum islam
Filsafat
menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa arab dipakai kata
filsafat dan filisof.
Hikmah
adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan melalui
alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya[1].
Allah berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Tuhan memberikan hikmah kepada orang
yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi hikmat, maka ia telah diberi
kebaikan yang banyak sekali”(QS.Albaqarah:269)
Filsafat
hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam
adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.[2]
Menurut
Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis,
dapat dipertanggungjawabkan dan radikal tentang hukum islam. Filsafat hukum
islam merupakan anak sulung dari filsafat islam.
Dengan
kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan
tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya,
atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan memelihara
hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di
muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat
ini, hukum islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam.[3]
Maka
filsafat hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat
yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat hukum islam
bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari
kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam arti
tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban
sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan.
Filsafat
hukum islam sebagaimana filsafat lainnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Filsafat hukum islam itu mempunyai dua tugas yaitu[4]:
pertama:tugas
kritis. Yaitu mempertanyakan kembali paradigm-paradigma yang telah mapan di
dalam hukum islam.
Kedua:
tugas kontruktif yaitu mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan
sistem hukum islam sehingga Nampak bahwa antara satu cabang hukum islam
mengajukan pertanyaan-pertanyaan: apa hakikat hukum islam: dan lain-lain.
B. Objek kajian dan kegunaan filfafat hukum
islam
Tujuan
dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan
di akhirat.
Tujuan
dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifa rahman dan rahim
(maha pengasih dan maha penyayang) allah kepada semua makhluk-nya. Rahmatan
lil-alamin adalah inti syariah atau hukum islam. Dengan adanya syariah tersebut
dapat ditegakkan perdamaian di muka
bumi dengan pengaturan masyarakat
yang memberikan keadilan kepada semua orang.[5]
Para
ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam, membagi filsafat nhukum
islam kepada dua rumusan, yaitu falsafat tasyri’ dan falsafat
syari’ah.[6]
1. Falsafat tasyri’:
filsafat yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya dan memeliharanya.
Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukum islam.
Filsafat tasyri’ terbagi kepada:
a. Da’aim al-ahkam (dasar-dasar hukum
islam)
b. Mabadi al-ahkam (prinsip-prinsip hukum
islam)
c. Ushul al-ahkam (pokok-pokok hukum islam)
atau mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum islam)
d. Maqashid al-ahkam (tujuan-tujuan hukum
islam)
e. Qawaid al-ahkam (kaidah-kaidah hukum
islam)
2. Falsafat syari’ah:
filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum islam seperti ibadah,
muamalah, jinayah, ‘uqubah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas untuk membicarakan
hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian falsafat syari’ah
adalah:
a. Asrar al-ahkam (rahasia-rahasia hukum
islam)
b. Khasha’is al-ahkam (cirri-ciri khas
hukum islam)
c. Mahasin al-ahkam (keutamaan-keutamaan
hukum islam)
d. Thawabi’ al-ahkam (karakteristik hukum
islam)
Menurut
Juhaya s. Praja dalam bukunya mengatakan bahwa objek filsafat hukum islam
meliputi objek teoritis dan objek praktis. Objek teoritis filsafat hukum islam
adalah objek kajian yang merupakan teori-teori hukum islam yang meliputi:[7]
1) Prinsip-prinsip hukum islam
2) Dasar-dasar dan sumber-sumber hukum
islam
3) Tujuan hukum islam
4) Asas-asas hukum islam, dan
5) Kaidah-kaidah hukum islam
Objek
filsafat hukum islam teoritis ini seringkali disebut objek falsafat al-tasyri’.
Sementara objek praktis filsafat hukum islam atau objek falsafat al-syari’ah
atau asra’r al-syari’ah meliputi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, seperti:
a) Mengapa manusia melakukan mu’amalah; dan
mengapa manusia harus diatur oleh hukum islam?
b) Mengapa manusia harus melakukan ibadah,
seperti shalat?
c) Apa rahasia atau hikmah yang terkandung
dalam pelaksanaan puasa, haji, dan sebagainya
C. Filsafat hukum islam antara wahyu dan
pemikiran
1) Hukum islam dan tantangan modernitas
Islam
diyakini sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat,
dan islam akan berhadapan dengan modernitas, sebagaimana ia berhadapan dengan
masyarakat yang bersahaja. Sehingga syari’at islam dapat dibuktikan tidak
bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih dari itu
dapat diyakini bahwa syari’at islam sesuai untuk setiap masyarakat di mana dan
kapanpun mereka berada.[8]
2) Qath’I al-Dilalah dan Zhanni al-Dhalalah
Pada
dasarnya ajaran islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, ajaran
islam yang bersifat absolute, universal, dan permanen, tidak berubah dan tidak
dapat diubah. Termasuk di dalamnya hadits yang mutawatir dan al-qur’an yang
menunjukkan yang jelas dan qat’i. kedua ajaran islam yang bersifat relative,
tidak universal dan tidak permanen , melainkan dapat berubah dan diubah.
Termasuk kelompok kedua ini adalah ajaran islam yang dihasilkan melalui proses
ijtihad. Keranhka berpikir ini sering muncul dikalangan ahli ushul fiqih dan
pakar pembaharuan dalam islam. Dikalangan ahli ushul fiqih dikenal antara dalil
qat’I dan dalil zhanni, baik eksistensinya wurud maupun penunjukkannya dalalah.
Dari
dalil Al-qur’an yang zhanni para ahli hukum islam berbeda pendapat dalam
memandangnya, mereka mencoba membuat kesimpulan hukum atau penafsiran sesuai
dengan pengetahuan dan kondisi di mana mereka hidup, selama tidak keluar dari
arti lafal . sementara itu kecendrungan mereka terhadap penggunaan hadits,
sebagai sumbert kedua hukum islam, ternyata berbeda. Di antara mereka ada yang
lebih banyak menggunakan nalar, ketimbang merujuk pada Hadits yang dianggapnya
kurang kuat. Dalam sejarah hukum islam kelompok pertama dikenal sebagai
ahl-hadits, sedangkan kelompok kedua dikenal dengan sebutan ahl- ra’yu, maka
tidak heran kalau hasil ijtihad mereka berbeda.
Hadits
yang bersifat zhanny al-wurud masih dapat dipertanyakan keberadaanya. Melalui
celah-celah dari dalil yang zhanni, baik wurud maupun dalalahnya, para ahli
hukum berupaya untuk menemukan kesimpulan hukum. Karena itu hasil ijtihad lebih
banyak yang bersifat relative dan berubah. Tridak ada alasan bagi umat islam
untuk menjadikan hasil ijtihad seseorang atau sekelompok orang sebagai
kebenaran mutlak.
Ajaran
Islam yang termasuk kelompok kedua, yang zhanny al-dalalah, yang relative dan
temporer itu telah memenuhi khazanah intelektual muslim dalam berbagai bidang,
mulai dari bidang tafsir dan hadits sampai bidang filsafat. Makin lama umat Islam
makin banyak akan tetapi Qur’an itu-itu juga. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan mengadakan perubahan dan pembaharuan ajaran islam yang bersifat
relative, temasuk bidang hukumnya sangat besar. Atas dasar itu dapat dikatakan
bahwa Islam sudah siap menghadapi segala persoalan modern. Fiqih bukanlah kebenaran
yang mutlak tetapi ia dapat berubah-ubah sesuai keadaan yang terjadi.
e. Hukum islam dan perubahan sosial
Masyarakat
senantiasa mengalami perubahan. Perubahan dapat berupa perubahan tatanan
social, budaya, social-ekonomi. Menurut para ahli linguistic, bahasa akan
mengalami perubahan setiap Sembilan puluh tahun, perubahan dalam bahasa secara
langsung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat itu. [9]
Dengan
begitu maka masalah yang terjadipun akan selalu berubah dan diperlukan ijtihad
yang sesuai dengan keadaan sekarang. Karena itu ibnu qayyim mengatakan:
ائتغير الفتوي بتغير الازمان و الامكنة و الاحوال و العود
perubahan
fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.
Maksud
dari pernyataan diatas adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh
terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh mufti. Namun hal ini tidak berarti hukum
akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber
utama hukum isl;am, al-qur’an dan hadist.
Sejarah mencatat bahwa ijtihad telah
dilakukan dari masa kemasa. Pada masa awal islam, ijtihad telah dilakukan
dengan baik dan kreatif. Pada masa berikutnya muncul sederetan mujtahid
kenamaan. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan umat islam.
Ijtihad pada masa sekarang ini lebih
diperlukan dibandingkan dengan masa-masa lampau, karena muncul berbagai
persoalan yang menuntut kita untuk menyelesaikannya. Ada beberapa masalah yang
muncul sekarang ini secara kebetulan mirip atau bahkan sama dengan
masalah-nasalah yang telah dibahas oleh para ahli fiqih terdahulu. Terhadap
kasusu semacam ini mujtahid sekarang berkewajiban untuk mempelajari dan
meninjau kembali masalah-masalah yang telah ditetapkan hukumnya, kemudian
menyesuaikannya dengan kondisi dan kebutuihan kita sekarang ini. Itulah
barangkali yang dimaksud dengan adagium:[10]
المحافظة على القديم المصالح و الاخذ بالجديد الاصلح
“Mempertahankannya yang lama yang
baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”
Sedangkan
mengenai masalah-masalah yang sama sekali baru, mujtahid harus menyelesaikannya
dengan cara memahami secara baik masalah dimaksud kemudian membahasnya secara
seksama dengan tetap merujuk kepada al-qur’an dan hadis.
Maka
pada masa sekarng ini ijtihad dilakukan dengan dua cara:[11]
1. Ijtihad inthiqai atau ijtihad tarjihi
Yang
dimaksud dengan ijmtihad ini ialah ijtihad yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai
masalah-masalah tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqih dan menyeleksi
mana dalil yang lebih kuat. Kemungkinan besar pendapat para ahli fiqih
terdahulu mengenai masalah yang sedan dipecahkan itu berbeda-beda. Dalam hal
ini mujtahid munthaqi bertugas untuk mempertimbangkan dan menyeleksi
dalil-dalil dan argumentasi dari setiap pendapat itu, kemudian memberikan
pemikiran terhadap pendapat yang dianggap kuat dan dapat diterima.
Mujtahid
ini disewbut juga dengan ahli tarjih. Tarjih pada periode ini berarti
menyeleksi berbagai pendapat dari mazhab apapun, kemudian diambil pendapat yang
rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Pendapat ahli fiqih
terdahulu dinyatakn rajah apabila pendapat itu didasarkan oleh dalil yang kuat,
cocok dengan zaman sekarang, dan sesuai tujuan disyariatkannya hukum islam.
Ada
beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh mujtahid munthaqi, diantaranya
adalah perubahan social budaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
kesesuaian dengan tuntutan zaman.
2. Ijtihad insya’i
Yang
dimaksud denagn ijtihad ini adalah usaha untuyk menetapkan kesimpulan hukum
mengenai peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan para ahli fiqih
terdahulu. Dalam ijtihad ini diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap
kasus-kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya. Dalam masalah ini ijtihad
jama’I sangat diperlukan karena keterbatasan pengetahuan seseorang disertai
semakin ketatnya disiplin ilmu pada masa sekarang ini, maka ijtihad fardi
mengenai kasus yang sama szekali baru, kemungkinan akan besar akan membawa kepada
kekeliruan.
Dalam
ijtihad insya’I diperlukan pemahaman yang baik tentang metode penetapan hukum.
Ada beberapa metode yang telah dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih
terdahulu. Diantara metode itu adalah qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan
sad adz-zariah. Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari orang yang akan
melakukan ijtihad insya’I adalah pengetahuan tentang tujuan disyariatkan hukum
Islam, sebab pada dasarnya semua metode penetapan hukum islam bermuara pada hal
tersebut.
f. Filsafat hukum islam pada bidang ibadah
a) Pengertian ibadah
Kata
ibadah terambil dari kata ‘abada yang artinya mengabdi, tunduk, taat. Sedangkan
menurut Mahmud syaltut dalm formasi yang singkat mengemukakan arti ibadah
sebagai:
خضوع لا تحد لعظمة لا تحد
“ketundukan
yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan yang tidak terbatas pula.”
Hal
ini menurut syaltut lebih jauh menunjukkan puncak tertinggi dan kerendahan hati
kecintaan batin, serta peleburan diri kepada keagungan dan kecantikan siapa
yang kepadanya seseorang beribadat, peleburan yang tidak dicapai oleh peleburan
apapun.
Oleh
syekh jafar subhani mengemukakan tiga formulasi ibadat yaitu ketundukkan dan
ketaatan yang berbentuk lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang
ketuhanan siapa yang kepadanya seseorang tunduk.
Menurut
m. al-ghazali hakikat ibadah akan terwujud apabila memenuhio tiga hal: 1. Tidak
menganggap apa yang berada dibawah kekuasaan atau wewenangnya sebagai milki
pribadinya, karena yang dinamai (hamba sahaya) tidak memiliki sesuatu, 2.
Menjadikan segala aktifitasnya berkisar pada pelaksanaanya apa yang
diperintahkan kepadanya, serta ,menjauhi apa yang dilarangnya, 3. Tidak
mendahuluinya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan kata lain mengaitkan
segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizing dan restu siapa yang
kepadanya ia mengabdi. [12]
Perintah
ibadah dalam al-qur’an selalu dikaitkan dengan :
a. Sifat rububiyah (pemeliharaan tuhan)
seperti dalam surat al-baqarah:21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
b.
Tawakkal kepada allah (penyerahan diri kepada Allah setelah usaha
maksimal) terdapat dalam surat al-fatihah ayat 5-6
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya
kepada Engkaulah kami meminta pertolongan tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ibadah dalam pengertian sempit
ibadah dalam pengertian sempit menurut Muh. Al-Ghazali adalah[13]:
ما انشاء الشارع حقيقته و صورته فليس يعرف الا عن طريقه كا اصلاة
والصيام و غيرهما
apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Allah dan Rasulullah
sehingga tidak diketahui kecuali melalui jalan tersebut seperti shalat, puasa
dan yang lainnya.
Arti ibadah dalam pengertian yang
sempit inilah yang sering digunakan oleh orang dalam memahami ibadah. Tata cara
ibadah yang telah ditetapkan itu harus diterima dan diamalkan sebagaimana
adanya, karena keberatan tentang bentuk atau cara tertentu dengan maksud
mengubahnya dengan cara lain, tidak menghalangi adanya keberatan baru bagi cara
yang telah diubah itu.
Dalam masalah ibadat nampak secara
jelas manfaat wahyu dan kebutuhan manusia terhadap bimbingan-Nya, yakni dalam
hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia, sebab seandainya hal-hal
tersebut dapat dijangkau maka itupun di dukung oleh para nabi dan wahyu Allah.
b)
Tujuan ibadah[14]
Abbas Al-Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah yaitu:
a.
Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga
memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan- kebutuhan
jasmaniahnya.
b.
Mengingatkannya bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada
lagi kehidupan berikut yang bersifat abadi.
Dan kita akan mencoba membahas filasat ibadah tersebut.
1.
Falsafah shalat
Shalat merupakan tiang agama serta kewajiban pokok yang diletakkan
Tuhan di atas pundak hamba-hambanya. Mengapa demikian?[15]
Pertama: dari
satu sisi kebesaran dan keagungan Tuhan, shalat merupakan konsekuensi dari
keyakinan-keyakinan tentang sifat-sifat Allah yang menguasai alam raya ini,
termasuk manusia serta yang kepadanya bergantuing segala sesuatu.
Kedua: dari
sisis lain yakni sisi manusia, ia adalah makhluk yang memiliki naluri antara
lain cemas dan mengharap, sehingga ia membutuhkan sandaran dan pegangan dalam
hidupnya.
Ketiga: alam
raya ini berjalan di bawah satu kesatuan sistem yang dikendalikan oleh satu
kekuatan yang maha dashyat yaitu Allah. Manusia lebih-lebih lagi ilmuan-ilmuan,
membutuhkan kepastian tentang tat kerja ala mini dalam rangka pengembangan ilmu
dan penerapannya. Kepastian tersebut tidak dapat diperolehnya kecuali dengan
keyakinan tentang adanya pengendali dan pengatur alam raya ini yang bersifat
esa tidak berbilang.
Jadi shalat kepada penguasa yang esa
itu menggambarkan pemahaman seseorang tentang tata kerja alam raya.
Keempat: terlepas
apakah shalat mengakibatkan terpenuhinya permohonan seseorang atau tidak, namun
paling tidak shalat merupakan hubungan manusia dengan tuhan.
2.
Falsafat zakat
Ada tiga alasan menggambarkan landasan pilosofis dan kewajiban
zakat:[16]
Pertama: istiklaf
(penugasan sebagai khalifah di muka bumi)
Konsekuensi terhadap harta benda
yang dimiliki adalah bahwa manusia yang dititipkan harat harus memenuhi
ketetapan tuhan baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaannya, antara lain
kewajiban dalam mengeluarkan zakat. Karena sejak semula Allah menetapkan bahwa
harta tersebut dijadikannya untuk kepentiongan bersama.
Kedua: solidaritas
social
Karena
manusia adalah makhluk social maka ia diharuskan juga untuk membantu sesama
yang bertujuan untuk sosialisasi.
Ketiga: persaudaraan
Manusia
berasal dari adam dan hawa maka sesame manusia itu bersaudara.
Dampak positif
zakat:
a)
Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa seseorang.
b)
Zakat menciptakan ketenangan dan ketentramam bukan hanya kepada
penerimanya tapi juga pemberinya.
c)
Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat
ditinjau dari segi spiritual keagamaan berdasarkan:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
3.
Falsafat puasa[17]
a. Aspek kejiwaan
Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesabara menanti saat berbuka
bahkan lebih jauh bersabar dalam menghadapi gangguan dan caci maki yang mungkin
ditunjukkan kepadanya. Kesabaran ini akibat dorongan ketaatan kepada Tuhan yang
memerintahkan berlaku demikian.
b.
Aspek-aspek social
Karena diwajibkan puasa secara serentak maka manusia akan hidup
dalam satu kondisi yang sama antara yang kaya dan miskin akan merasakan hal
yang sama. Dan pada waktu malam bersama-sama pula pergi ke masjid.
c.
Aspek kesehatan
Puasa secara umum membatasi aktivitas pencernaan. Dan hal ini
mempunyai dampak positif bagi kesehatan, sehingga puasa dapat menjadi terapi
bagi banyak penyakit, bahkan dapat merupakan faktor penyembuhan bagi
penyakit-penyakit tertentu.
4.
Falsafat haji
a.
Aspek social politik
Berkumpulnya umat islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai
ras, bangsa, merupakan satu cara untuk mempererat tali persaudaraan sesame
muslim. Dan manampakkan pada dunia luar syi’ar islam.
b.
Aspek ekonomi
Al-qur’an secara tegas menyatakan bahwa berjual beli dibolehkan
pada musim haji, sehingga berkumpulnya umat muslim dalam satu keadaan tertentu
akan memberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan perdagangan baik secara
langsung maupun tidak.
c.
Aspek kejiwaan
Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa, karena
seseorang berada dalam lingkungan ka’bah, yang merupakan tempat untuk
menyampaikan keluh kesah kepada Allah.
d.
Aspek ibadah
Dalam ibadah haji nampak sekali ibadah di dalamnya yang dapat
dilihat dari tata cara yang ditetapkan. Tata cara tersebut apabila ditinjau
secara lahiriah tanpa memperhatikan makna-makna yang terkandung di dalamnya,
dapat menimbulkan kesalahpahaman, seperti berkeliling di ka’bah, sya’I dan
sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut tidak dipahami dia harus
melaksanakannya sebagai tanda tunduk kepada Allah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat
hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia merupakan
filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat hukum islam
adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan sistematis
sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum islam
secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.
Filsafat
hukum islam mengkaji berbagai aspek yang terjadi di tengah masyarakat. Dalam
mengembangkan hokum islam maka para mujtahid berijtihad untuk menemukan
berbagai solusi terhadap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Maka dari
itu filsafat hokum islam selalu berkembang baik dalam bidang inadah maupun
mu’amalah.
B.Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangannya, maka dari itu
penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang mendukung untuk perbaikan
makalah ini, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, zaini.1999.Filsafat
Hukum Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Djamil, fathurrahman. 1997. Filsafat
Hukum Islam. Ciputat. Logos Wacana Ilmu
Djamil, fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Ciputat.
Logos Wacana Ilmu
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta. Bulan bintang
S Praja Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung. Universitas LPPM Unuversitas Islam Bandung
S Praja Juhaya. 1995. Filsafat Hukum Islam. Bandung. Universitas LPPM Unuversitas Islam Bandung
[1] Ahmad Hanafi, 1990, Pengantar Filsafat Islam,(Bulan
Bintang:Jakarta), hal 3
[2] Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, (Logos
Wacana Ilmu:Ciputat), hal 14
[3] Ibid
[4] Juhaya S. Praja, 1995,Filsafat Hukum Islam,(Pusat Penerbit
Universitas LPPM:Bandung),hal 15
[6] Fathurrahman Djamil, hal 16
[7] Loc cit, Juhaya s. Praja, Filsafat Hukum Islam, hal 15
[9] Fathurrahman djamil, filsafat hukum islam, hal163
[11] Ibid, hal 167
[12] Zaini dahlan,amir syarifuddin,1999, filsafat hukum islam,(bumi
aksara:Jakarta),hal 177
[13] Ibid, hal 178
[14] Ibid hal 182
[15] Amir syarifuddin,1999,filsafat hukum islam, hal 192
[16] Ibid, hal 193
Ilmu yang bermanfaat makasih ya Gaan 😁😁
ReplyDelete