Mengamati politik 2019 (Patut Diketahui)



NO MONEY, NO CHOICE:
MENGUATNYA EVERYDAY FORMS RESISTENCE TERHADAP ELIT POLITIK



Ejekan bawah tanah
merupakan seni perlawanan terhadap dominasi
dan sebagai suatu senjata yang sangat kuat bagi yang lemah..( James C. Scott)
           
            Atmosfer money politic yang senantiasa membungkusi tingkah politisi dan mesin politik di negeri ini tidak lagi menjadi rahasia bagi khalayak, malah telah menjadi kebenaran publik yang tidak dapat disangkal keberadaannya. Fakta ini, sesuai degan data yang didapat dari jajak pendapat KOMPAS, yang dengan terang menyatakan bahwa praktik politik uang dalam proses pencalonan Kepala Daerah dalam pilkada sangat parah (53,5%). Ketidakyakinan kepala daerah mampu berantas korupsi (66,6%), calon kepala daerah tidak bebas dari politik uang (73,8%). Parahnya money politic yang dilakoni oleh elit politik, mesin politik ini telah mendorong terjadinya krisis politik dalam prosesi demokrasi di Indonesia.
            Jika diamati dari setiap fase pergantian kekuasaan di Indonesia, terutama pergantian kekuasaan yang dilalui dengan proses Pemilu. Maka tradisi money politic, ternyata tidak berjalan secara tunggal, tapi senantiasa berbarengan dengan pencitraan semu, obral janji—yang mencuat dari mesin politik dan elit politik di tengah sengit-nya kompetisi politik dan kian marak ketika keinginan untuk berkuasa berpacu di negeri ini. lumrahlah, jika marginal cost untuk memproduksi kekuasaan senantiasa melonjak seiring melonjaknya kuantitas kontestansi mesin politik di Indonesia.
            Bayangkan, disaat kotak pandora reformasi terbuka. Maka saat itulah desire mass untuk berekspresi yang selama ini tertekan oleh dominasi Orde Baru seketika mebludak keluar, hingga membentuk gugusan assosiasi ekspresi yang beragam. Gerombolan dalam masyarakat mengekspresikan hasrat tersebut dengan membangun mesin politik berupa parpol, organisasi masyarakat, bahkan organisasi sempalan berbasis agama. Satu sisi kenyataan ini dinilai sebagai kemajuan demokrasi jika dibanding dengan demokrasi yang berjalan sebelumnya pada rezim orde baru. Applous, tentu saja patut dilayangkan pada mereka yang telah berani mengemukan ekspresi dan keinginan yang dijamin oleh UUD 1945 tersebut—ini menjadi bukti betapa unit-unit manusia Indonesia sangat paham dan merespon konstituen-nya sebagai warga negara dengan efektif. Melintasi sisi positif tersebut; setiap manusia Indonesia, apalagi elit politik, dan partai politik perlu mencurahkan hasrat untuk mengapai kekuasaan strategis di Indonesia, dengan melandasi tingkah, sikap, dan keputusan politik kepada integritas budaya, dan politik nilai, dan agaknya ‘kemestian ini’ mampu memicu proses transformasi politik bagi masyarakat. Jika tidak demikian, krisis identitas politik ‘kita’, dan nilai akan senantiasa menengelamkan ritus politik di Indonesia pada kubangan pragtisme politik, yang sama sekali tidak mencerahkan unit-unit manusia Indonesia.
            Penelitian ilmiah oleh Glen Newey dari Britain’s University of Strathclyde, Inggris (2003), sampelnya di beberapa negara demokrasi maju, menunjukkan bahwa kebohongan adalah satu bagian penting dari kehidupan politik modern. Dalam konteks politik di Indonesia, kebohongan sering direfleksikan dengan obral janji, bahkan politik uang. Alhasil, setiap prosesi politik di Indonesia tidak pernah sepi dari ritus-ritus kebohongan yang cenderung dipertontonkan oleh elit politik dan mesin politik (parpol). Sederhananya kondisi ini dapat dilukis dengan kalimat “jika hanya punya sedikit pengetahuan, kita belum mengetahui dusta manusia: dusta kata-kata, gerak-gerik mata, dan ekspresi wajah para elit politik. “bagaimana mungkin anak cucu kita dapat dipersiapkan menjadi manusia yang mampu mengetahui tentang dusta?”.
            Di Indonesia kebohongan politik, tumbuh dan menyatu dengan perilaku elit politik dalam berbagai bentuk, dan kini dalam jagat politik metode ‘simulakra’ merupakan metode yang paling sering digunakan oleh mesin partai dan politisi kawakan di negeri ini. Menguak misteri tersebut, maka tertumpahlah pikiran pada pertanyaan “Apa sebenarnya yang mengerakkan politik tanpa nilai ini mengeruyak di ruang publik?”.
            Ada dua arus saat ini, yang sama-sama kuat bergesekkan di ruang publik. kedua arus ini secara aktif membentuk, mengkonstruksi, bahkan memproduksi manusia modern sekaligus memolesi ‘mereka’ dengan assesories yang khas. Hingga dalam tataran praksis, kondisi ini mempermudah melakukan proses identifikasi terhadap pola hidup tingkah, bahkan ideologi yang membentuk manusia modern saat ini. Sederhananya, kedua arus ini telah menjadi tempat berpijak bagi genre kehidupan manusia. Alhasil, setiap bilik kehidupan nyaris tereduksi, terkontaminasi. Parahnya, kedua arus ini sama-sama bergerak membentuk gugusan politic of nemesis. Di mana, politik permusuhan membatu dan saling berpacu membentuk jaring-jaring permusuhan dalam ruang politik, dan bahkan agama sekalipun. Ironisnya, politik permusuhan ini saling meneguhkan dan saling menegasikan—pertentangan tajam pun tumpah kepermukaan, stabilitas sosial menjadi taruhan dari politik permusuhan ini.
            Rakyat, umat, dan manusia semesta tetap menjadi korban abadi dari pergesekan kedua arus ini. Siklusnya, terjadilah degradasi eksistensialis manusia dewasa ini. Situasi ini digambarkan oleh Teodore W. Adorno, sebagai suatu transgresi atau kemunduran zaman. Di mana, kemajuan adalah kemunduran itu sendiri, (Dialectic of Enlightement, 1974). Dua arus yang sukses besar merekonstruksi kehidupan manusia tersebut ialah fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Secara teoritis kedua aliran ini terpecik dari modernitas, yang saat ini sedang menyelebungi manusia tanpa kecuali.
            Kedua bentuk fundamentalisme ini mempunyai sisi yang sama—keduanya, telah mendorong berbagai peradangan pada struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dewasa ini. Namun dalam kajian ini, fundamentalisme pasar lebih concern ditelisik.
            Fundamentalisme pasar, dalam kiprahnya yang panjang telah menjadi struktur yang mapan dalam siklus kehidupan ekonomi manusia dewasa ini—ketimpangan, kemiskinan, penganguran, bahkan konglomerasi kapital menjadi gugusan ’eksternalitas negatif’ dari eksistensialitas fundamentalisme pasar.  ironisnya, eksternalitas ekonomi yang disebabkan oleh fundamentalisme pasar tidak hanya menyusupi dunia ekonomi an sich. Tapi eksternalitas tersebut secara massif, dan seketika mampu menutupi permukaan dari kehidupan politik, dan budaya saat ini. Mafhum, jika saat ini kehidupan manusia modern, baik dalam gegap gempita politik, ekonomi, dan budaya—telah menjadi cermin bangkai dari keberadaan kapitalisme global, yang melaju lewat jalur ekstrim fundamentalisme pasar.
            Fundamentalisme pasar telah mengkondisikan manusia hidup dalam peneguhan sikap bahwa akumulasi kapital adalah ultimat goal dalam siklus kehidupan. Hingga setiap gerakan, motif senantiasa mengalir dalam kanal ritualitas uang, dan hedonistik ekonomi. Tampaknya, fundamentalisme pasar telah sukses menjadikan manusia sebagai mesin pencetak uang; hingga kehidupan politik, ekonomi kini semangkin mengkerucut ke arah mitos tanpa makna, realitas tanpa nilai. Ada ketakutan mekanistik, yang diwarnai dengan kepentingan diri yang mengelikan. Pada tahap akhir dari perkembangan budaya ini, mungkin betul-betul bisa dikatakan sebagai “spesialis-spesialis tanpa spirit, hawa nafsu tanpa hati, khayalan-khayalan yang dibatalkan, yang telah mencapai jenjang peradaban yang sebelumnya tidak pernah tercapai”, demikian kata Max Weber, (dalam Schroeder: 2005). Seolah-olah dogma self-interest, profit oriented yang menjadi varian ekonomi pasar yang menyatu dan telah menjadi ruh dari berbagai kehidupan manusia—spirit ini berkelabat menyusuri angin, lalu tanpa sadar terhirup oleh manusia sebagai udara yang seketika mampu mengkontaminasi minda siapa saja, hingga larutlah setiap individu, elit dalam nihilitas ekonomi dan politik.
            Demikianlah fundamentalisme pasar menciptakan kosmos ekonomi, yang seterusnya diisi oleh manusia-manuisa penyembah uang—manusia yang menjadikan ‘kekayaan’ sebagai nilai absolute. Hingga nyatalah setiap turunan dari kehidupan, politik, ekonomi, dan budaya senantiasa digerakkan oleh kekuatan uang. Dalam locus ini, tidak ada lagi politik yang berbasis nilai, tidak adalagi ekonomi sebagai a common good. Namun yang mengambang adalah hasrat memangsa, keinginan untuk menang sendiri, keinginan untuk peneguhan eksitensialitas diri, bahkan narsisme. Demikianlah eksternalitas pasar menjambaki kehidupan manusia modern.
            Jamak dirasakan bahwa ekonomi uang telah mengkondisikan manusia dalam membangun totalitas dunianya; totalitas politik, ekonomi dan totalitas budaya. Namun struktur kapitalisme yang begitu mapan dalam kondisi yang paling objektif telah mendorong gap, ineguality, injustice dalam struktur kelas di negara berkembang, termasuk Indonesia. Apalagi dengan direcokinya dunia politik dewasa ini oleh tradisi money politic—nyaris, politik tidak lagi menjadi media yang mencerahkan dan mendorong perbaikan ekonomi, dan budaya dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Dalam kondisi inilah, parodi, ejekan, bahkan demostrasi menguat dikalangan masyarakat akar rumput sebagai ekspresi perlawanan terhadap elit politik tersebut.


sekian

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Filsafat Hukum Islam #terbaru 2020

Makalah Tentang Zihar terbaru 2020

Contoh Surat Lamaran Kerja Pengadilan Agama/Negeri-2020